Selasa, 23 November 2010

ARKEOLOGI : Warisan Kemandirian Pantai Utara Jabar

ARKEOLOGI

Warisan Kemandirian Pantai Utara Jabar

Pengunjung mengamati Candi Jiwa di Kompleks Percandian Batujaya, Kecamatan Batujaya, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Rabu (27/10). Candi Batujaya merupakan salah satu artefak sejarah yang meninggalkan banyak jejak pemanfaatan teknologi yang beberapa di antaranya masih bertahan hingga saat ini. (KOMPAS/MUKHAMAD KURNIAWAN)***

Oleh Cornelius Helmy

Eksplorasi penemuan Candi Batujaya di antara Desa Segaran dan Telagajaya, Kecamatan Batujaya, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, membuka fakta menarik. Candi dari era Kerajaan Tarumanegara ini menyingkap bukti bahwa kemandirian dengan balutan teknologi maju ketika itu sudah hadir.

Candi Batujaya dibangun antara abad ke-6 dan ke-10. ”Meski dipengaruhi tradisi dari Nalanda di India Utara yang masuk di era Kerajaan Hindu Tarumanegara, tidak dapat dimungkiri pernah ada penerapan teknologi mandiri dan kreatif yang kemudian tidak terwariskan terus-menerus. Kebudayaan India itu datang seiring banyaknya pendatang dari berbagai negara di pantai utara Jawa Barat, baik itu berdagang atau menyebarkan agama,” papar arkeolog peneliti Candi Batujaya, Hasan Djafar, di sela-sela seminar Percandian Batujaya di Universitas Pasundan, Bandung, Kamis (11/11).

Melalui metode penanggalan absolut C14 (radio carbon dating), candi ini diyakini dibuat dalam dua fase. Fase pertama 680-750 Masehi, fase kedua tahun 760-900 Masehi saat Tarumanegara dikuasai Kerajaan Sriwijaya. Faktor Sriwijaya menjadi salah satu penyebab kuatnya pengaruh agama Buddha Mahayana di candi ini. Batujaya adalah candi Buddha Mahayana tertua di Jawa.

Bata sekam padi

Menurut Hasan, kemandirian terlihat dari batu bata yang digunakan untuk membangun candi yang pertama kali diteliti tahun 1984 oleh tim arkeologi Universitas Indonesia. Sebagai dataran rendah dengan dominasi tanah aluvial, bahan baku tanah liat melimpah di daerah ini. Umumnya, batu bata itu berbentuk balok, 40 x 20 x 7 sentimeter.

Pembuatan batu bata terbilang maju, dengan campuran sekam atau kulit padi. Campuran itu diyakini mematangkan bagian dalam batu bata saat dipanaskan hingga suhu 700 derajat celsius. Hasilnya, batu bata menjadi keras baik lapisan luar maupun dalam sehingga daya serap airnya rendah. Tidak heran bila batu bata di Candi Batujaya tetap bertahan hingga kini.

Beton stuko

Kemandirian lain terlihat dari penggunaan stuko (plester berwarna putih), pelapis tembok candi agar lebih kuat. Stuko juga digunakan untuk membuat ornamen, relief, dan arca. Bahan baku stuko diperoleh dari pembakaran batu kapur pada suhu 900-1.000 derajat celsius. Kapur diambil dari pegunungan kapur di Karawang Selatan, membentang arah barat-timur sepanjang 20 kilometer.

Para arsitek dan pekerjanya juga berinisiatif menggabungkan stuko dengan pasir dan kerikil. Hasilnya, suatu bahan bangunan yang amat kuat—biasa disebut beton stuko—untuk pengerasan lantai dan halaman candi, membangun kubah stupa, memperkuat konstruksi urukan tanah di sekeliling candi guna menghindari banjir. Inovasi lain adalah pembuatan genteng hingga penggunaan kayu untuk bingkai pintu atau tiang cungkup candi. Bekas fondasi tiang kayu ini mirip bangunan stupa di Sanchi, India Tengah, pada tahun sama.

Transportasi sungai

Kemandirian berbalut teknologi ini juga diperkuat hasil penelitian T Bachtiar dari Masyarakat Geografi Indonesia. Bachtiar mengatakan, beton stuko sangat mirip dengan bangunan beton pertama di Jabar—benteng dari zaman kolonial di Gunung Putri, Lembang, Bandung Barat, dibangun pada abad ke-19.

Bachtiar menambahkan, kemandirian dan kreativitas itu diperkuat dengan salah satu moda transportasi di era pembuatan Batujaya. Besar kemungkinan penggunaan perahu sudah lazim untuk melintasi Sungai Citarum. Ini ditandai dengan temuan dayung di sekitar situs. ”Besar kemungkinan kebiasaan membuat perahu di Batujaya dipengaruhi warisan kebudayaan ribuan tahun lalu,” katanya.

Butuh perlindungan

Lalu, mengapa teknologi itu tidak terwariskan secara turun-temurun? Bachtiar berpendapat, zaman dulu pengetahuan seperti ini kerap kali dimitoskan dan dianggap tabu dibicarakan. Pengetahuan ini hanya boleh dimiliki sekelompok atau orang tertentu. Akibatnya, saat orang atau kelompok pemilik pengetahuan ini meninggal dunia, pengetahuan itu ikut terkubur.

Dari temuan-temuan itu, Hasan meminta semua pihak menjadikan kompleks Candi Batujaya sebagai pendorong semangat untuk terus mengembangkan kemampuan secara mandiri. Dari Batujaya, masyarakat Indonesia ditantang kreatif memanfaatkan apa yang ada di sekitarnya menjadi lebih bermakna.

Bachtiar meminta pemerintah daerah memerhatikan keberadaan Candi Batujaya sebagai penambah semangat masyarakat. Terutama adalah perlindungan dan pemugaran terhadap 30 situs candi yang telah dieksplorasi.

”Saat ini pemugaran di kompleks Candi Batujaya belum dilakukan dengan unsur kesejarahan yang tepat. Contohnya di lantai Candi Segaran V atau Candi Blandongan. Tangganya dibangun ulang dengan batu keras—bukan batu bata—yang digergaji hingga licin dan dengan ukuran lebih kecil,” ujarnya.

Untuk jangka panjang, pemerintah daerah juga harus berani menetapkan perlindungan terhadap situs utama atau situs pendukung, seperti Karst Pangkalan.

Saat ini, Karst Pangkalan nasibnya berada di ujung tanduk akibat eksploitasi penambangan dan pembuatan kapur bakar.

”Penataan wilayah untuk penelitian dan sumber referensi juga harus terus ditingkatkan. Saat ini akses di sekitar lokasi situs belum banyak membantu proses eksplorasi dan promosi,” kata Bachtiar. ***

Source : Kompas, Senin, 22 November 2010 | 03:25 WIB

Jumat, 19 November 2010

TUGU NOL INDRAMAYU : Nyaris Lenyap “Disapu” Perkembangan Jaman

TUGU NOL INDRAMAYU

Nyaris Lenyap “Disapu” Perkembangan Jaman

INDRAMAYU – Masih banyak bangunan cagar budaya yang ada di wilayah Kabupaten Inadramayu, Provinsi Jawa Barat yang hingga kini kurang terurus, bahkan cenderung tidak pernah tersentuh renovasi. Salah satunya, peninggalan bersejarah itu adalah tugu “NOL INDRAMAYU”. Padahal, sebelum terjadinya perbaikan jalan yang berada di sekitar jembatan yang pernah populer dengan julukan “Kreteg Sorog” itu, masih tampak patok beton yang di tengahnya diduga terbuat dari besi bulat berdiameter sekitar 20 cm. Keberadaan bangunan itulah yang menjadi titik awal menghitung jarak Kota Indramayu dengan sejumlah daerah lainnya.

Meski belum banyak terungkap tentang keberadaan tugu Titik “0” (baca : nol) Indramayu dalam berbagai buku sejarah yang berkaitan dengan perkembangan wilayah Kabupaten Indramayu, namun monumen itu tersebut tampaknya telah memberikan gambaran bahwa pada jaman penjajahan Belanda, pemerintahan kolonialisme itu telah membuat perhitungan untuk mengukur jarak Indramayu dengan sejumlah wilayah yang ada di sekitarnya dengan membangun tugu titik “0” Indramayu yang tak jauh dari pusat pemerintahan Kota Mangga tersebut.

Dari berbagai penelusuran menyebutkan, ada beragam versi kapan tugu titik “0” Indramayu dibangun ? Ada yang mengatakan, tugu titik “0” dibuat sekitar abad XVI. Namun sumber lain juga mengatakan, monumen perhitungan jarak “0” tersebut dibangun pada masa penjajahan Belanda gelombang pertama sekitar tahun 1837. Bahkan, konon, pernah mengalami rehabilitasi pada tahun 1947, ketika tengah ganas-ganasnya pergolakan politik di Bumi Wiralodra Indramayu.

Dalam Buku Sejarah Indramayu yang diterbitkan pada tahun 1970-an mengungkapkan, penjajah Belanda ketika itu berusaha membumi hanguskan beberapa wilayah Indramayu untuk dijadikan daerah jajahannya. Bahkan, pelabuhan Indramayu yang berada di kawasan Cimanuk Indramayu (dekat jantung kota) yang ketika masih menjadi sarana arus barang telah dikuasainya. Namun upaya itu gagal, karena para pejuang Indramayu melakukan perlawanan walaupun jatuh korban jiwa tidak sedikit.

Di bawah kepemimpinan M.A. Sentot yang menjadi penglima perang berbendera “Pasukan Setan” berhasil melancarkan perlawanan sengit, dan membuat bala tentara Belanda kocar-kacir. Yang tersisa kini, sejumlah bangunan bersejarah peninggalan semasa penjajahan Belanda ayang masuk dalam kategori Benda Cagar Budaya, hingga kini masih banyak yang berdiri. Kendati kondisinya sangat memperihatinkan, karena pemerintah terkesan kurang peduli terhadap sejumlah bangunan bersejarah, termasuk bagaimana nasib tugu “0” Indramayu yang nyaris lenyap “disapu” perkembangan jaman bermerk pembangunan. (Satim)*** Foto=foto : Satim

MUSIK ANGKLUNG : Kolaborasi yang Memesona

MUSIK ANGKLUNG

Kolaborasi yang Memesona

Pertunjukan angklung modern dimainkan kelompok musik asal Bandung membuka pameran purwarupa angklung Indonesia di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (18/11). Pertunjukan dan pameran angklung yang berlangsung hingga 27 November 2010 tersebut menyambut disahkannya angklung sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO. (KOMPAS/LUCKY PRANSISKA)***

Dimainkan dalam warna dan genre apa pun, musik angklung tetap memukau dan memesona. Penampilan angklung tradisional Reog Buncis dari Banjaran yang berlaraskan pentatonik, angklung massal yang bernada diatonik kromatik, dan angklung Indonesia masa depan yang dimainkan kelompok Arumba, Kamis (18/11) malam di Bentara Budaya Jakarta, mencerminkan kekayaan budaya Indonesia tersebut.

Setelah angklung disahkan UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia Tak Benda dari Indonesia, 16 November 2010, dalam sidang ke-5 di Nairobi, Kenya, ratusan pengunjung Pameran Purwarupa Angklung Awi-awi Mandiri 2010 dan Pagelaran Musik ”Mendengarkan Indonesia” mendapat suguhan musik angklung yang begitu kaya, unik, dan langka dari kelompok Saung Angklung Udjo.

Angklung Buncis dari Banjaran, yang tradisional, dimainkan generasi tua. Suatu pertanda, perlunya regenerasi untuk jenis angklung tradisional ini. Sedangkan angklung massal dimainkan anak-anak sekolah. Lima lagu Nusantara dimainkan dengan apik dan memukau.

Ketika musik angklung dimainkan kelompok Arumba, terlihat betapa angklung bisa dikolaborasikan dengan jenis alat musik lain.

Arumba, yang sudah pentas ke sejumlah negara, tampil luar biasa membawakan komposisi musik instrumentalia berjudul ”Take Five” dan ”Juwita Malam” yang dinyanyikan trio dengan genre yang variatif.

Ratusan penonton yang memadati halaman Bentara Budaya Jakarta dibuat terpesona dengan alunan musik angklung tersebut.

Tidak hanya pertunjukan musik angklung yang menarik, pameran purwarupa angklung yang dibuka wartawan senior Kompas Ninok Laksono juga tak kalah menariknya. Pameran merupakan upaya untuk memperkenalkan khazanah budaya angklung, sekaligus untuk membuka cakrawala mengenai sejarah, perkembangan, dan fungsi angklung tidak hanya bagi masyarakat dunia, tetapi juga dunia.

Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, yang ditemui secara terpisah, mengatakan, UNESCO menetapkan angklung sebagai Warisan Budaya Dunia Tak Benda antara lain karena angklung merupakan seni musik yang mengandung nilai-nilai dasar kerja sama, saling menghormati, dan keharmonisan sosial yang merupakan bagian utama identitas budaya masyarakat di Jawa Barat dan Banten.

”Tugas ke depan bagaimana melestarikan, mengembangkan, dan melakukan regenerasi serta mempromosikan nilai-nilai dalam musik angklung,” ungkap Jero Wacik. (YURNALDI)***

Source : Kompas, Jumat, 19 November 2010 | 04:21 WIB

Angklung Warisan Dunia

BUDAYA

Angklung Warisan Dunia

Ari (24) menyelesaikan pembuatan alat musik tradisional Jawa Barat, angklung, di tempat pembuatan angklung milik Udin di Kampung Padasuka, Bandung, Jawa Barat, Rabu (17/11). Pada Selasa (16/11), alat musik bambu tersebut resmi dikukuhkan menjadi salah satu warisan budaya dunia kategori Warisan Budaya Dunia Tak Benda (The Intangible Cultural Heritage of Humanity) dari UNES CO. (KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO)***

JAKARTA - Alat musik tradisional Indonesia, angklung, pada sidang ke-5 Inter- Governmental Committee UNESCO di Nairobi, Kenya, 16 November pukul 16.20 waktu setempat, ditetapkan sebagai The Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity.

Direktur Jenderal Nilai Budaya Seni dan Film Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Tjetjep Suparman, juga pimpinan delegasi Republik Indonesia pada sidang itu, mengatakan, ”Ini membuktikan betapa kekayaan budaya Indonesia pantas menjadi warisan budaya dunia.” Demikian diungkapkannya saat dihubungi Rabu (17/11) dari Jakarta melalui Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata I Gusti Ngurah Putra.

Tjetjep menjelaskan, angklung merupakan rumpun kesenian yang menggunakan alat musik dari bambu yang berasal dari Jawa Barat. Kendati muncul pertama kali di daerah Jawa Barat, angklung berkembang dan menyebar ke seantero Jawa, lalu ke Kalimantan dan Sumatera.

Pada 1908 tercatat sebuah misi kebudayaan dari Indonesia ke Thailand, ditandai penyerahan angklung, lalu permainan musik bambu ini pun sempat menyebar di sana.

Sejak 1966, Udjo Ngalagena—tokoh angklung yang mengembangkan teknik permainan berdasarkan laras-laras pelog, salendro, dan madenda—mulai mengajarkan cara bermain angklung kepada berbagai komunitas.

Direktur Pengembangan Bisnis Saung Angklung Udjo, Satria, berkomentar, penetapan angklung sebagai Warisan Budaya Dunia Tak Benda itu merupakan momentum yang luar biasa. ”Ini sebuah pengakuan yang pantas kita syukuri ,” katanya. (NAL)***

Source : Kompas, Kamis, 18 November 2010 | 03:08 WIB

Bangun Solidaritas untuk Hadapi Kesulitan Bangsa

IDUL ADHA 1431 HIJRIAH

Bangun Solidaritas untuk Hadapi Kesulitan Bangsa

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (kedua dari kanan), didampingi (dari kiri ke kanan) Menko Polhukam Djoko Suyanto, Ketua MA Harifin Tumpa, Ketua DPD Irman Gusman, dan Imam Besar Masjid Istiqlal KH Ali Mustafa Yaqub tengah menunaikan shalat Idul Adha 1431 Hijriah di Masjid Istiqlal, Jakarta, Rabu (17/11). (KOMPAS/ALIF ICHWAN)***

JAKARTA - Solidaritas sangat penting dalam menghadapi berbagai kesulitan yang dialami bangsa saat ini, termasuk untuk mengatasi kondisi ekonomi. Para pemimpin bangsa pun diminta bekerja sama dan bersatu demi mencapai kemajuan bangsa.

”Mulai hari ini kita hentikan saling menghujat dan saling menuding,” ujar Guru Besar Universitas Hasanuddin, Makassar, Halide, saat menyampaikan khotbah bertema ”Dengan Semangat Ibadah Haji dan Qurban, Kita Bina Persatuan Bangsa” dalam pelaksanaan shalat Idul Adha 1431 Hijriah di Masjid Istiqlal, Jakarta, Rabu (17/11).

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ny Ani Yudhoyono menunaikan shalat Idul Adha di Masjid Istiqlal. Sejumlah menteri Kabinet Indonesia Bersatu II dan pemimpin lembaga negara serta duta besar negara sahabat juga melakukan shalat Idul Adha di masjid tersebut.

Kali ini Presiden Yudhoyono tidak didampingi Wakil Presiden Boediono dan Ny Herawati Boediono. Itu karena Wapres Boediono melaksanakan shalat Idul Adha di Jepang.

Wartawan Kompas, Suhartono, yang menyertai rombongan Wapres Boediono, melaporkan, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, yang bertindak sebagai khatib di Sekolah Indonesia di Tokyo, Jepang, Rabu, menyatakan, bangsa Indonesia sekarang ini ditantang menjadi manusia sejati. Sejati dalam perilaku kehidupan sehari-hari dan menjalani berbagai profesi dan jabatan.

”Dalam suasana bangsa yang tengah diuji dengan berbagai keprihatinan sekarang ini, kita ditantang menjadi manusia yang sejati. Seberapa jauh kita bisa meniru perilaku dan kearifan Habil (anak Nabi Adam) di tengah-tengah penderitaan saudara sebangsa yang sedang dilanda bencana, yaitu dengan memberikan bantuan yang, meskipun sedikit, memiliki nilai yang besar,” ujar Hatta, Rabu pagi waktu setempat.

Menurut Hatta, Habil merepresentasikan figur yang baik, sedangkan Qabil mewakili figur yang jahat. Namun, setiap anak cucu Adam diberi pilihan untuk mengikuti kedua figur tersebut.

”Drama kehidupan Habil dan Qabil akan terus berlangsung sepanjang kehidupan manusia. Bahkan, drama kehidupan itu semakin mudah ditemukan di mana-mana dalam kehidupan sehari-hari kita dan di seluruh profesi kita. Kita mau memilih yang mana,” tutur Hatta.

Personifikasi keprihatinan dan kerelaan berkurban, lanjut Hatta, berada dalam pribadi Nabi Ibrahim. ”Munculnya berbagai ujian bencana, seperti banjir bandang di Wasior, Teluk Wondama, Papua Barat; gunung meletus Merapi di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah; serta gempa bumi disertai tsunami di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Allah SWT menantang kita dengan berbagai ujian seperti itu. Semoga ujian itu menjadi hikmah besar,” kata Hatta.

Hatta kemudian mengajak bangsa Indonesia meningkatkan kesalehan sosial di tengah-tengah keprihatinan bangsa. ”Bencana yang bertubi-tubi sekarang ini diharapkan bisa meningkatkan kesalehan sosial kita untuk lebih rendah hati dan tidak membicarakan keburukan dan menceritakan kelebihan diri kita sendiri dalam waktu 24 jam,” katanya.

Hewan kurban

Seusai menunaikan shalat Idul Adha, Presiden Yudhoyono dan Ny Ani Yudhoyono menyerahkan seekor sapi kurban keluarga Presiden kepada panitia di Masjid Istiqlal. Menurut Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha, Presiden dan keluarga menyumbangkan dua sapi kurban. Selain disumbangkan ke Masjid Istiqlal, satu ekor sapi yang lain diserahkan ke Masjid Baiturrahim di Kompleks Istana Kepresidenan.

Kemarin, jutaan pemeluk Islam di sejumlah daerah menggelar shalat Idul Adha. Sebagian warga, terutama warga Muhammadiyah, menunaikan shalat Idul Adha sehari sebelumnya. Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin, yang menunaikan shalat Idul Adha di Surabaya, Jawa Timur, mengajak umat untuk merenungi ujian yang diberikan Tuhan untuk bangsa Indonesia.

”Kita harus sikapi bencana ini dengan penuh kesabaran sebab orang sabar adalah mereka yang ketika ditimpa musibah tetap mengingat Allah,” tuturnya.(DAY/ANTARA)***

Source : Kompas, Kamis, 18 November 2010 | 04:07 WIB

Fokuskan Kurban ke Daerah Bencana

IDUL ADHA

Fokuskan Kurban ke Daerah Bencana

Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan bersiap menyembelih sapi kurban di halaman belakang Gedung Pakuan, Bandung, Rabu (17/11). Selain berkurban di Pakuan, Gubernur juga menyerahkan hewan kurban di beberapa masjid di Bandung, antara lain Masjid Istiqamah dan Masjid Raya Kota Bandung. (KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO)***

BANDUNG Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan mengimbau warga yang melakukan ibadah kurban agar menyerahkan bantuannya ke daerah bencana, seperti Wasior (Papua), Mentawai (Sumatera Barat), dan kawasan Gunung Merapi (Jawa Tengah dan Yogyakarta).

Hal itu dikatakan seusai melaksanakan shalat Idul Adha di Lapangan Gasibu, Bandung, Rabu (17/11). Menurut Heryawan, Idul Adha adalah momen bagi warga Jabar untuk menggandakan amal baiknya dengan memberikan bantuan kepada orang-orang yang menjadi korban bencana dan fakir miskin.

”Di hari-hari normal, kita sudah berkurban dan menyantuni fakir miskin. Namun, dalam situasi banyaknya bencana yang menimpa berbagai daerah di Indonesia seperti saat ini, Idul Adha juga menjadi momentum meningkatkan sedekah hingga dua kali lipat,” u j a r ny a .

Idul Adha pun bukan sekadar ritual menyembelih hewan kurban. Heryawan menegaskan, sebagai bagian dari ibadah, Idul Adha memiliki makna sosial, antara lain kesediaan berkorban bagi orang lain yang memerlukan bantuan.

Saat ditanya mengenai perbedaan pelaksanaan shalat Idul Adha di antara umat, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Umat Islam itu menyebutkan bahwa hal itu biasa terjadi. ”Tidak ada persoalan dengan perbedaan hari itu. Ada yang shalat Selasa atau Rabu, tetapi nanti kita bersatu lagi saat shalat Jumat. Itu wajar-wajar saja,” u n g k a p ny a .

Shalat yang diikuti Gubernur itu diisi khotbah oleh Ketua Badan Amil Zakat Jabar Mochamad Surjani Ichsan. Dalam khotbahnya, Surjani menekankan agar umat mengingat arti berkurban, yakni memberikan sesuatu untuk menunjukkan kecintaan kepada orang lain meskipun harus menderita. (REK)***

Source : Kompas, Kamis, 18 November 2010 | 04:48 WIB

Perayaan Hari Raya Kurban Berlangsung Lancar

IDUL ADHA

Perayaan Hari Raya Kurban Berlangsung Lancar

Warga berdesakan untuk mendapatkan daging kurban di Kantor Badan Pemeriksa Keuangan di Pejompongan, Jakarta Pusat, Rabu (17/11). (KOMPAS/WISNU WIDIANTORO)***

JAKARTA - Perayaan Idul Adha di Jakarta sepanjang Selasa hingga Rabu (17/11) berlangsung aman dan lancar. Shalat Id di Masjid Al Azhar, Jakarta Selatan, Rabu lalu, dan ribuan umat yang melaksanakan ibadah shalat yang sama di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat, Kamis pagi, berjalan khidmat. Perbedaan penentuan jatuhnya tanggal 10 Zulhijah di Jakarta terbukti tidak memengaruhi kekhusyukan beribadah warga.

Namun, beberapa insiden mewarnai perayaan hari raya kurban tahun ini. Desak-desakan warga saat mengambil jatah daging hewan kurban masih terjadi, antara lain, di Masjid At-Taqwa, Jalan Sakti, Kompleks Pajak, Kemanggisan, Jakarta Barat. Dalam pembagian daging kurban Rabu kemarin, ratusan warga berdesakan dan terjadi dorong-mendorong. Beberapa orang bahkan terjatuh, tetapi tidak ada yang terluka.

Di Masjid Taman Ibadah, Jalan Tomang Asli, Jati Pulo, Palmerah, petugas Suku Dinas Peternakan dan Perikanan Jakarta Barat menemukan cacing pita di hati seekor hewan kurban. Hati itu langsung disingkirkan dan dimusnahkan.

Kepala Suku Dinas Peternakan dan Perikanan Jakarta Barat Kusdiana mengatakan, cacing pita di hati sapi itu tidak berdampak secara signifikan bagi kesehatan, tetapi tidak layak untuk dikonsumsi.

Di Jakarta Selatan, Suku Dinas Peternakan dan Perikanan juga memeriksa proses pemotongan hewan kurban. Sebanyak 10 tim dikerahkan untuk memeriksa lokasi-lokasi pemotongan di 10 kecamatan. Mereka mengawasi petugas pemotong atau tukang jagal. Beberapa kriteria yang harus dipenuhi dalam pemotongan hewan kurban adalah kebersihan, larangan merokok, tidak menggunakan sandal dan sepatu, serta mencuci tangan sebelum dan setelah memegang daging kurban.

Suasana pemotongan dan pembagian daging kurban diwarnai beberapa peristiwa. Di Depok, M Yusuf S (47), warga Kelurahan Cisalak, Kecamatan Sukmajaya, meninggal ketika memotong sapi kurban. Yusuf yang sehari-hari bekerja sebagai petugas keamanan di Perumahan Taman Duta terkulai lemas setelah membantu pemotongan empat dari lima sapi.

Belum diketahui penyebab tewasnya Yusuf. Warga memperkirakan dia kecapaian atau terkena serangan jantung.

Suasana pemotongan kurban di Markas Polda Metro Jaya diwarnai dengan adanya penjualan pembagian daging kurban oleh lelaki yang mengaku bernama David, warga Karet, Jakarta Selatan. Begitu menerima kantong berisi daging, ia langsung menawarkan daging itu kepada orang yang berpapasan dengannya. ”Mau beli daging, Bang? Rp 100.000 aja,” katanya kepada seorang wartawan. Tiga plastik itu beratnya sekitar 3 kilogram, tetapi isinya campur, ada daging, jeroan, dan sebagian tulang.

Alasannya menjual daging itu karena di rumah tidak ada yang memasak. ”Tidak ada istri di rumah,” ujarnya.

Panitia hari raya kurban yang dipimpin Ajun Komisaris Besar Sukarna menerima sumbangan 31 sapi dan 34 kambing dari para pejabat Polda Metro Jaya. Sumbangan ini dibagikan kepada penghuni 11 asrama polisi, satuan kerja di bawah Polda Metro Jaya, yayasan sosial, masjid, serta masyarakat seperti penjual makanan.

Sepuluh loket

Menghindari antrean panjang warga dan berdesakan, pengelola Masjid Istiqlal yang akan menyalurkan 5.000 paket daging kurban, Kamis ini, menyediakan 10 loket pengambilan.

Ketua Pelaksana Pengelola Masjid Istiqlal Mubarok mengatakan, 10 loket itu terbagi dua bagian. Lima loket untuk pengantre laki-laki dan lima loket khusus untuk perempuan.

Menurut Mubarok, pembagian daging kurban akan digelar antara gerbang Al-Fatah hingga gerbang Al-Ghofar yang berjarak sekitar 200 meter.

Dengan cara itu, diharapkan warga tidak perlu berdesak-desakan. Upaya ini juga dilakukan untuk mengantisipasi agar insiden yang memakan korban jiwa seperti terjadi tahun lalu tak terulang.

Agar warga mendapat jatah sesuai haknya, panitia pemotongan hewan kurban di Istiqlal juga akan menandai jari orang yang mendapat paket daging dengan tinta. (NEL/NDY/FRO/TRI)***

Source : Kompas, Kamis, 18 November 2010 | 03:48 WIB

Senin, 15 November 2010

Harus Bangga Gunakan Bahasa Indonesia

Harus Bangga Gunakan Bahasa Indonesia

JAKARTA - Maraknya penggunaan bahasa asing sebagai bahasa pengantar di sekolah memprihatinkan banyak kalangan. Sebab, sekolah tetap diharapkan menjadi garda terdepan untuk membentuk anak-anak bangsa yang bangga menggunakan bahasa Indonesia.

Jajang, Ketua Asosiasi Guru dan Bahasa Sastra Indonesia, Selasa (9/11), mengatakan, bangsa ini harus punya sikap untuk mencintai apa yang dimiliki, termasuk bahasa Indonesia yang diakui sebagai bahasa pemersatu di Tanah Air. ”Jika kita menggaungkan pendidikan berkarakter, harus jelas bahwa karakter yang dibangun karakter Indonesia. Salah satunya dengan membuat anak-anak muda kita mencintai bahasa Indonesia dan bangga menggunakannya,” kata Jajang.

Menurut Jajang, sekolah semestinya tidak ikut-ikutan mendewakan hal-hal yang berbau asing, seperti bahasa Inggris. Di Malaysia, sekolah-sekolah kembali mengajarkan bahasa Melayu. Di Jepang, penggunaan bahasa Jepang tetap yang utama dan Negara Matahari Terbit ini nyatanya tetap diperhitungkan di dunia internasional.

”Kita harus yakin, dengan berbahasa Indonesia, kita tetap bisa berdaya saing global. Tantangan sekarang, bagaimana membuat anak didik mampu memiliki keterampilan berkomunikasi dalam bahasa Indonesia yang sesuai kaidah berbahasa yang baik,” kata guru SMAN 5 Bandung ini.

Asep Tapip, anggota Musyawarah Guru Mata Pelajaran Bahasa Inggris Kota Bandung, menambahkan, penguasaan bahasa Inggris memang penting untuk meningkatkan daya saing sumber daya manusia pada era globalisasi. Namun, hal itu bukan berarti bahasa Inggris digunakan sebagai bahasa pengantar pendidikan.

”Kemampuan guru Bahasa Inggris dalam berkomunikasi bahasa ini saja masih banyak yang kurang baik. Jangan sampai anak-anak didik dirugikan dalam penguasaan pengetahuan karena kendala bahasa,” ujarnya.

Menurut Asep, pembelajaran bahasa Inggris di sekolah itu yang perlu diperbaiki metodenya atau ditambah jam belajarnya. Bisa juga sekolah membudayakan bahasa Inggris dengan membuat hari tertentu sebagai hari berbahasa Inggris, termasuk juga hari berbahasa daerah.

Jangan salah memaknai

Secara terpisah, Jummono, Koordinator Aliansi Orang Tua Peduli Pendidikan, mengatakan, orangtua dan sekolah jangan salah memaknai globalisasi, seolah-olah harus merujuk sesuatu yang berbau asing.

Praktisi pendidikan, Mochtar Buchori dan HAR Tilaar, menyatakan, berkualitas internasional jangan dimaknai sempit dengan digunakannya bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar pendidikan.

Buchori mengatakan, pendidikan itu mesti berfungsi secara seimbang antara menyampaikan pengetahuan (teaching), mengajarkan keterampilan (training), dan membentuk kepribadian (educating).

”Penguasaan bahasa asing pun tidak lagi akan jadi kendala ketika mereka punya kemampuan belajar yang baik,” ungkap Buchori. (ELN)***

Source : Kompas, Rabu, 10 November 2010 | 04:22 WIB

Ada 5 Komentar Untuk Artikel Ini. Kirim Komentar Anda

  • heny widyastuti

Rabu, 10 November 2010 | 11:15 WIB

Mari kita bangga dengan apa yang kita miliki. Baik atau jelek ini negeri kita, tanah kita, bahasa kita. Berbanggalah dengan itu.

Balas tanggapan

  • Titus Sasmoko

Rabu, 10 November 2010 | 11:00 WIB

erm, kalo berkaca dengan Jepang, yang membuat mereka mendapat respek karena mereka mampu membuat sendiri barang2nya, meski untuk SDA mereka masih impor. Kalo mau kayak Jepang ya, benerin dulu pendidikannya.

Balas tanggapan

  • Rahdian Saepuloh

Rabu, 10 November 2010 | 10:52 WIB

Betul sekali, Bahasa Indonesia harus menjadi perhatian yang penting untuk orang Indonesia sendiri. Buktinya banyak sekali murid-murid yang nilai mata pelajaran Bahasa Indonesianya lebih buruk daripada nilai pada mata pelajaran Bahasa Inggris. Jangan anggap remeh bahasa sendiri. sebagai orang Indonesia bukan berarti bisa berbahasa Indonesia dengan semestinya. Mari kita jaga dan kita lestarikan Bahasa indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa

Balas tanggapan

  • Fajar Santoadi

Rabu, 10 November 2010 | 08:56 WIB

Dua-duanya penting pak... Orang Indonesia yang belajar bahasa asing dan memakainya untuk membuka wawasan itu hebat... memang harus diakui bahasa ingris memang lebih mendunia dan kalau mau berpengetahuan luas memang musti paham dan bisa pakai itu bahasa... jangan cemas pak...saya cinta Indonesia dan Bahasa Indonesia kok... betul.

Balas tanggapan

  • gunawan wawan

Rabu, 10 November 2010 | 06:55 WIB

Tantangan bagi semua guru bahasa Indonesia agar berusaha membuat pelajaran bahasa Indonesia yang menyenangkan dan menarik minat siswa.

Balas tanggapan

Bahasa Asing Jangan Jadi Bahasa Pengantar

Bahasa Asing Jangan Jadi Bahasa Pengantar

BANGKOK - Untuk mempermudah pemahaman siswa terhadap materi pelajaran di sekolah, hindari penggunaan bahasa asing, seperti bahasa Inggris. Dengan bahasa asing, siswa dikhawatirkan justru akan bingung dan tidak mengerti persoalan atau malah salah pengertian.

Kekhawatiran itu diungkapkan berkali-kali oleh para peserta dan pembicara dalam sesi diskusi konferensi internasional mengenai ”Language, Education, and the Millenium Development Goals (MDGs)”, Rabu (10/11) di Bangkok, Thailand.

Dari berbagai pengalaman yang diceritakan para peserta dan pembicara, mayoritas bahkan menilai, penggunaan bahasa asing yang terlalu dini di taman bermain dan taman kanak-kanak justru akan mengacaukan kemampuan berbahasa anak.

”Di satu sisi, anak tidak fasih bahasa Inggris karena tidak dipakai sehari-hari. Di sisi lain, penggunaan bahasa ibu juga lama-lama menjadi tidak lancar karena di sekolah mulai ditinggalkan,” kata penasihat pendidikan di Save the Children Inggris, Helen Pinnock, seperti dilaporkan wartawan Kompas, Luki Aulia.

Direktur SIL International-LEAD Asia Catherine Young juga khawatir jika siswa tidak mengerti bahasa pengantar yang digunakan di sekolahnya, lambat laun minat dan semangat anak bisa menurun dan berakhir dengan drop out.

Keberhasilan MDGs

Sehari sebelumnya, saat membuka konferensi, Perdana Menteri Thailand Abhisit Vejjajiva mengatakan, ”Ilmu pengetahuan apa pun akan lebih cepat dimengerti siswa jika disampaikan dalam bahasa mereka sendiri.” Apalagi di masyarakat yang tinggal di pedesaan, daerah perbatasan, dan kelompok masyarakat miskin.

Masyarakat pedesaan, daerah perbatasan, dan miskin itulah yang dinilai Abhisit masih tertinggal karena tidak bisa memperoleh informasi atau pengetahuan hanya karena mereka tidak menguasai bahasa nasional ataupun bahasa internasional.

Bahkan, menurut pakar bahasa Inggris dari University of Oxford, Inggris, Suzanne Romaine, masyarakat lokal, terutama kelompok minoritas, akan tergilas roda pembangunan jika mereka masih saja terhambat urusan bahasa. Jika pemerintah mau peduli untuk mempertahankan bahasa ibu, taraf hidup masyarakat dipastikan akan membaik.

”Berikan kebebasan masyarakat untuk menggunakan bahasa mereka sebagai sarana untuk mengembangkan diri sendiri,” kata Romaine.

Jika masyarakat lokal dipaksa untuk menggunakan bahasa selain bahasa ibu, Helen Pinnock khawatir masyarakat takut mencoba hal baru dan akan kian tertinggal.

Bukan ukuran

Helen menilai, tidak ada salahnya mengajarkan bahasa asing di jenjang pendidikan dasar asalkan menjadi salah satu mata pelajaran dan bukan bahasa pengantar. Helen juga mengingatkan, bahasa asing sebagai bahasa pengantar tidak bisa dijadikan ukuran mutu suatu sekolah.

”Yang penting benahi metode pengajaran, cara belajar siswa, dan cara guru mengajar. Kuncinya, buat anak nyaman belajar di sekolah, apakah itu dengan bahasa lokal, nasional, atau asing,” kata Helen.

Dalam lingkup yang lebih luas, Helen mengingatkan pentingnya menentukan arah pendidikan. Sumber daya manusia seperti apa yang diharapkan akan dihasilkan institusi pendidikan untuk menghadapi tantangan masa depan.

”Sangat bergantung pada rencana pembangunan jangka panjang pemerintah. Setelah tahu itu, barulah kurikulum seperti apa yang harus dibuat,” ujarnya.

Pengakuan

Suzanne Romaine mengaku khawatir dengan banyaknya negara yang menetapkan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Apalagi jika latar belakang pemikirannya hanya agar bisa diakui memiliki standar internasional.

Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar justru akan berisiko bagi negara-negara yang bahasa utamanya bukan bahasa Inggris. Kondisi belajar-mengajar akan semakin tidak jelas karena masih banyak guru yang tidak mahir berbicara dalam bahasa Inggris, apalagi mengajar dalam bahasa Inggris.

Daripada menggunakan bahasa Inggris, Romaine mengusulkan agar lebih baik menggunakan bahasa lokal, terutama bagi siswa yang tinggal di daerah pedesaan atau daerah terpencil.

”Ajarkan bahasa ibu dulu. Baru seiring dengan itu, sedikit demi sedikit, ajarkan bahasa lain,” kata Romaine.

Source : Kompas, Kamis, 11 November 2010 | 04:04 WIB

Ada 8 Komentar Untuk Artikel Ini. Kirim Komentar Anda

  • sri adisusilo

Kamis, 11 November 2010 | 14:40 WIB

no 1 diajarkan pada anak adalah bhs ibu, kemudian bhs indonesia, baru bahasa asing. Tulisan ini sangat agus, mengingatkan pada yang sadar, anak harus diarahkan menjadi orang Indonesia yang punya kepribadian, bukan menjadi manusia global yang tak tahu jati dirinya. "saya anak mana, saya anak siapa"

Balas tanggapan

  • Arya Seta

Kamis, 11 November 2010 | 14:05 WIB

Semoga Menteri Pendidikan Nasional kita membaca artikel ini dan menyadari bahwa penggunaan bahasa Inggris dalam sistem pendidikan kita adalah pilihan yang salah. Bahasa Inggris tidak perlu menjadi bahasa sehari-hari di sekolah. Biarkan bahasa William Sheakespeare ini menjadi bahasa pengetahuan tertentu atau bahasa tambahan. Semoga beliau juga mengingat atau mencari tahu bagaimana kerja keras Komisi Istilah pada tahun 50-an dalam memuliakan bahasa Indonesia di dunia pendidikan.

Balas tanggapan

  • made pasmidi

Kamis, 11 November 2010 | 12:47 WIB

Penguasaan bahasa ibu paling dulu, kemudian bahasa di lingkungan, makin lama makin meluas sesuai keperluan.

Balas tanggapan

  • didit purwanto

Kamis, 11 November 2010 | 12:40 WIB

setuju, tapi bagaimana dg program RSBI yg di Indonesia, terutama yg di daerah kabupaten pelosok, yg mana kemungkinan siswanya yg melanjutkan ke luar negeri tidak ada, atau sangat kecil

Balas tanggapan

  • ilham muhammad

Kamis, 11 November 2010 | 12:17 WIB

materi pelajaran dengan pengantar bahasa lokal saja kadang susah dicerna, apalagi bahasa asing. kebijakan pemerintah tentang RSBI tidak matang, agar dibilang mendunia padahal membunuh karakter peserta didik

Balas tanggapan

Konsep RSBI Tak Jelas

Konsep RSBI Tak Jelas

JAKARTA - Pemerintah diminta untuk menghapuskan proyek rintisan sekolah bertaraf internasional yang dimulai sejak 2006. Karena konsepnya tidak jelas, mutu pendidikan tidak bertambah baik, malah terjadi diskriminasi pendidikan.

Pemerintah seharusnya fokus menjalankan kewajiban untuk meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan sehingga setiap sekolah di seluruh pelosok Tanah Air mencapai delapan standar nasional pendidikan.

Proyek rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dan sekolah bertaraf internasional (SBI) dalam kenyataannya menciptakan hambatan bagi warga untuk mendapatkan pelayanan pendidikan berkualitas.

Demikian kesimpulan dari studi awal proyek RSBI/SBI yang dilaksanakan Koalisi Pendidikan. Tergabung dalam koalisi ini, antara lain, serikat guru dari berbagai wilayah di Indonesia, Aliansi Orang Tua Peduli Pendidikan, dan Indonesia Corruption Watch (ICW).

Secara terpisah, praktisi pendidikan Mochtar Buhori, Jumat (5/11), mengatakan, konsep ”internasional” dalam RSBI tidak jelas. ”Standar internasional itu apanya? Kenyataannya, yang dikejar adalah fasilitas sekolah, penggunaan bahasa Inggris, dan jadi alasan pembenar bagi sekolah untuk melakukan pungutan. Ini keliru besar,” ujarnya.

Dana melimpah

Ade Irawan, Koordinator Monitoring Pelayanan Publik ICW, mengatakan, subsidi dari pemerintah dan pemerintah daerah untuk setiap RSBI rata-rata mencapai Rp 1,5 miliar per tahun. Namun, ironisnya, pemerintah menutup mata ketika sekolah melakukan pungutan tanpa batas kepada orangtua siswa.

Dari hasil penelitian Koalisi Pendidikan, pungutan masuk RSBI sekolah dasar rata-rata SPP Rp 200.000 per bulan, sedangkan dana sumbangan pembangunan (DSP) mencapai Rp 6 juta. Di RSBI SMP, besarnya SPP sekitar Rp 450.000 dan DSP Rp 6 juta.

Di SMA/SMK, besarnya SPP Rp 500.000 dan DSP Rp 15 juta. Biaya-biaya tersebut belum termasuk biaya tes masuk dan biaya belajar atau studi banding ke sekolah di luar negeri.

Ade mengatakan, Kemendiknas mendorong sekolah berlabel RSBI untuk melakukan pungutan kepada orangtua atau calon orangtua murid. Tak ada aturan untuk mengendalikan pungutan yang dilakukan oleh sekolah.

Lody Paat, Koordinator Koalisi Pendidikan, menjelaskan, secara konsep, program RSBI bertentangan dengan tujuan pendidikan seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945. Program RSBI tidak berkontribusi signifikan dalam peningkatan mutu pendidikan nasional. ”Pemerintah mengabaikan kewajiban konstitusionalnya dalam menyediakan layanan pendidikan murah dan berkualitas,” kata Lody.

Secara teknis, program RSBI cenderung dipaksakan. Pelaksanaannya pun ”amatiran”, mulai dari sosialisasi, penentuan sekolah pelaksana, serta pemantauan dan evaluasi. Kualitas guru RSBI masih buruk, terutama dalam penggunaan bahasa Inggris.(ELN)***

Source : Kompas, Sabtu, 6 November 2010 | 03:00 WIB

Ada 6 Komentar Untuk Artikel Ini. Kirim Komentar Anda

Dapati Giawa

Sabtu, 6 November 2010 | 12:07 WIB

hentikanlah konsep dan istilah INTERNASIONAL untuk menjadi lebih baik dan berguna buat rakyat. Mulai dari sekolah, rumah sakit, dll. ga usah jadi istilah dalam standarisasi, yang penting tepat, berguna, efisien, melayanid engan sungguh.

Balas tanggapan

Abadullah Basrie

Sabtu, 6 November 2010 | 08:17 WIB

inilah resikonya kalau pendidikan sudah dijadikan bisnis dan dikelola oleh orang pengusaha,pemerintah(DIKNAS) agar lebih ketat melakukan pengawasan terhadap RSBI,karena dengan adanya RSBI dunia pendidikan jadi diskriminatif,seolah-olah pendidikan hanya untuk orang berduit

Balas tanggapan

ahmad abu darin

Sabtu, 6 November 2010 | 08:11 WIB

kalaupun tidak semua kebijakan pemerintah bisa dikatakan hanya mengambil ampas dari modernisasi setidaknya peraturan tentang RSBI menjadi salah satu indikasi kearah situ. proyek RSBI hanya mengedepankan bentuk , bukan esensi dari pendidikan.

Balas tanggapan

maskuri maskuri

Sabtu, 6 November 2010 | 06:19 WIB

pemerintah nampaknya akan lebih mempertahankan kebijakan yang dianggap salah soal RSBI/SBI, dari pada mendengarkan saran dan masukan dari luar yang memang benar. Ini lebih karena mempertahankan popularitas dan rasa malu.

Balas tanggapan

lindawati tanjung

Sabtu, 6 November 2010 | 04:29 WIB

inilah akibatnya kalau kebijakan pemerintah mengadopsi aspirasi kalangan pendidik yang berjiwa pengusaha....pendidikan menjadi sesuatu yang sulit dijangkau dan hanya untuk masyarakat yang berduit....akhirnya para "laskar pelangi" bukan hanya di daerah terpencil saja tapi sudah berada di kota.....beginilah nasib anak2 Indonesia yang kurang beruntung itu hanya bermimpi untuk mendapatkan walau hanya pendidikan dasar

Balas tanggapan